Rabu, 27 Februari 2008

PERAN ITU.....APA YA.....

“Ah…. Masa’, sih…”
“Bener lho, ngapain aku bohong”
“Mas kan belum tahu aku, kok udah ngomong gitu”
“Tanya deh orang2, kamu cantik kok dan aku suka banget”
Perempuan berkaos biru dengan jean hitam itu, bersemu merah pipinya
“kita belum kenal lho mas, bisa gawat kalau muji2 gitu”
“Biar gak gawat kita seriusi aja ya…”
“Apanya….?”
“ya kita ini, jika kamu bersedia aku antar sampai rumah”
Percakapan dua “arus positif negatif” itu terjadi didepanku. Lepas isyak ketika aku terjebak kepenatan menunggu bus di terminal bus.

(**)

“Dak wis, pokoke hari ini gak boleh ngutang”
“Ala, Cuma nambah dikit aja, lusa aku bayar semua”
“Bayar….Bayar…..harus bayar…”
“Ya…ya…ya, kopinya dulu jangan ngamuk terus”
“Asal bayar”
“ya yuk, rokok satu bungkus ya”
Aku tersenyum, mendengar debat kecil ini. Sambil sesekali kunikmati kepulan asap rokok, diantara bau keringat yang cukup menyengat. Warung sederhana seperti ini, pimggir jalan dan dekat sawah, adalah tempat yang menyenangkat bagi masyarakat petani didesa.
“Kopinya wis tak buatkan yang enak, ini rokoknya. Pokoknya bayar ya..”
“Ya..ya.. yuk, gak usah sewot lah..”
“Gak sewot gimana, beras pada naik, minyak naik, tepung naik, apa-apa naik. Jualan dihutangi terus, habis modalku…”
“Gak apa-apa yuk, kan tiap malam kakang juga naik.. he..he..”
“Gundul kamu, wis tua gak mikirin itu…”
Seorang laki-laki paro baya, melirikku. Setelah mengepulkan asap rokoknya, ia bertanya padaku
“Anak muda, sampean kan tahu pemerintahan. Kenapa ini semuanya pada naik..?”
Semua mata tiba-tiba tertuja padaku. Perempuan pemilik warung menimpali
“Pemerintahnya itu ‘dak kenal kita-kita kali ya”
Sebatang rokok kunyalakan, kubiarkan mereka menebak-nebak jawaban. Hisapan rokok sengaja kukepulkan pelan-pelan. Entah harus pakai literature apa untuk menjawab pertanyaan mereka. Gak mungkin aku jawab karena pemerintah gagal swasembada beras, karena lahan pertanian kiat berubah fungsi, karena kebijakan fiscal, karena pengaruh harga minyak dunia, atau karena para menteri ekonomi kita dipusingkan oleh bayangan konglomerat berdasi pejabat. Apapun aku ya harus menjawab pertanyaan mereka
“Kalau dalam minggu ini, tiap malam kita khusus menangis pada Allah, Insya Allah kita akan mampu membeli barang yang naik itu…”
“Pertanyaan kami kenapa naik”
“Karena Allah, akan memberikan sampean-sampean kemampuan untuk membelinya”
“Duh…aduh…anak…ini…!!”

(**)

Sekitar jam 8 pada suatu pesta malam pernikahan, aku sedang menikmati juise apel. Ketika tanpa sengaja telingaku menangkap pembicaraan antara dua orang llaki-laki separo baya.
“Bapak sudah bicara…”
“Belum. Tapi apa yang saya bawa malam ini, paling tidak bisa menterjemahkan keinginanku”
“Saya juga belum. Saya agak grogi untuk memulai. Emangnya bapak bawa apa?”
“Kontak Mobil terbaru, sebagai hadiah perkawinan anaknya”
“Tujuan kita sama, saya bawa kunci rumah tipe 90”
“Wah.. kalau begitu besok pagi kita harus bersama-sama temui beliau”
“Saya dengar si Dadu sudah menemui beliau”
“Ala… kalau cuma dia, gampang untuk nyingkirkan”
“Gampang gimana…?, ia sudah mulai dekat”
“Kita sediakan amplop, seseorang dengan mudah akan menghilangkan berkasnya”
“Kalau begitu kita harus bergerak cepat, waktu kita tinggal 6 hari lagi”
“Kita akan melakukannya dengan rapi. Percayalah 6 hari lagi kita termasuk yang akan dilantik”.
6 hari kemudian aku membaca dikoran pelantikan pejabat. Salah satu orang yang percakapannya aku dengar dipesta pernikahan ikut dilantik.
6 bulan kemudian aku membacanya lagi dikoran salah satu orang yang percakapannya aku dengar dipesta pernikahan tapi yang tidak dilantik melaporkan temanya yang ikut dilantik jadi pejabat ke polisi. Kasus yang dilaporkan adalah dugaan penggelembungan anggaran proyek.

(**)

Dimana Kita ?. Menjadi apa kita ?. Bagian peran apa yang kita ambil pada proses berkebangsaan ini. Begitu berartikah peran kita ?. Apakah peran itu menjadi bagian terpenting dari proses perbaikan masyarakat. Atau kita justru terpinggirkan, peran kita dianggap tidak relevan. Peran yang coba kita lakoni dianggap duri bagi kepentingan komunitas tertentu, maka kemudian kita dianggap penyakit social, yang perannya harus dikerdilkan.

10 tahun sejak reformasi diteriakan dengan darah dan air mata, peran kemanusiaan belum menemukan judul yang pasti. Orde ini kemudian ternyata membuka ruang lebar bagi kita untuk mengaktualisasikan peran. Akibatnya sulit menemukan difinisi yang jelas tentang peran kemanusiaan.

Apapun, jauh lebih berarti berperan menjadi diri sendiri. Peran terbaik adalah menjadi baik bagi diri sendiri, mengartikan diri sendiri menjadi baik bagi sesama.
(sesaat sebelum perjalanan ke rumah)

Senin, 25 Februari 2008

CALON GUBENUR, NU DAN KYAI

Jika tidak ada perubahan Juli 2008, masyarakat jawa timur akan menghadapi pemilihan gubenur yang pertama kali di Jatim. Hari ini nuansa perebutan kekuasaan itu terasa sekali dan kembali jorgan "membela rakyat kecil" laris terdengar ditelinga kita.

Beberapa waktu yang lalu Pasangan Soekarwo (sekda jatim) dan Saifullah Yusuf (ketua GP. Ansor) di deklarasikan oleh koalisi Partai Demokrat dan PAN. Sedemikian pinter Demokrat mencuri kesempatan, ketika DPP PDIP ternyata merekomendasi Sucipto, maka Demokrat yang awalnya bukan "gadis cantik" bagi calon gubenur, menjelma menjadi primadona dan mau tidak mau Pak De Karwo harus memilihnya. PAN melihat itu sebagai tiket sempurna untuk merebut kekuasaan di jatim. Maka ditinggalkan PPP, kemudian menggandeng Demokrat dengan menyugukan Gus Ipul di posisi Wagub.

Bagaimana kans mereka ? Pak De berkumis ini harus memeras otak untuk mengembalikan "investasi" yang ia tanam pada Muskercabsus-Muskercabsus PDI.P. Jika minimal separo dari Investasi itu berbalik padanya, bukan tidak mungkin Soekarwo akan meninggalkan Sucipto. Apalagi misalnya sang Raja Mataram (Gus Ipul) selain optimal menggerakkan mesin Ansor, juga bisa mencuri pemilih PKB dan Nahdiyin.

Secara Teoritis Pasangan ini memang cukup mengakar. Pengalaman Soekarwo dalam Birokrasi dengan Jorgan APBD untuk rakyat, sisi lain kelihaian lobi Saifullah Yusuf serta kedekatannya dengan Kyai-Kyai berpengaruh dijawa timur. Jika misalnya semua itu diramu dengan manajement kampanye yang baik, tidak menutup kemungkinan pasangan ini yang akan memimpin Jawa Timur.

Persoalannya adalah terletak siapa yang kemudian menjadi pasangan Soenaryo (Wagub Jatim/Ketua Golkar Jatim). Misalnya kita berandai Ali Maschan Musa memilih menjadi CaWagub Soenaryo, setelah PKB menutup rapat kemungkian men CaGub kan beliau.
Soenaryo yang sudah cukup lama berInvestasi dalam persiapan pencalonannya tentu memiliki fanatisme massa, disamping mesin golkar yang bergerak dengan solid (tak terdengar ancaman Ridwan Hisyam). Sementara Cak Ali pada akar rumput NU lebih bisa diterima ketimbang Gus Ipul.

Bagaimana dengan PKB, yang 24 Feb 2008 kemarin memenuhi janjinya untuk mendeklarasikan Achmady (Bupati Mojokerto) sebagai calon Gubenur dari PKB ? Kita jadi ingat Pemilihan Gubenur 5 tahun lalu (masih DPRD), ketika arus dukungan, keinginan Kyai-Kyai lebih pada Imam Utomo, PKB (FKB) justru cendrung pada Jendral (purn) Khafi, alasannya seperti biasa keinginan Gus Dur. Kita tentu mencoba untuk tidak mengecilkan arti dan peran seseorang, walau sulit tertutupi bahwa Acmady adalah calon Gubenur yang paling tidak populer. Artinya bahwa perjuangan untuk memenangkan Achmady digantungkan pada 2 hal ; popularitas calon wakil gubenurnya dan tentu efektifitas PKB dalam menjalankan mesin partainya. Harus diingat di Jawa Timur Pengurus PKB disemua tingkatan lebih didominasi Anshor dan NU, 2 lembaga ini secara emosional lebih dekat dengan Gus ipul dan Cak Ali Maschan ketimbang Achmady.

Bagaimana dengan kecendrungan pemilih ?. Di Jawa khususnya Jawa Timur menurut Cliffort Geertz segmen masyarakat terbagi 3, Santri, Priyayi dan Abangan. Santri adalah komunitas yang menjadi murid agama di pesantren. pada umumnya santri berasal dari kampung-kampung di desa, ketika ia kembali kekampung masih tetap berpredikat santri. mereka mempunyai ikatan emosional yang tinggi dengan para Kyai nya. Pola dan tingkah lakunya lebih banyak mengadopsi Pola dan karakter Kyai nya. Priyayi adalah golongn elit di Pesantren, biasanya pemilik pesantren. pada perkembangan berikutnya tokoh masyarakat masuk dalam sebutan priyayi. Abangan adalah komunitas yang biasanya bertempat tinggal dikota-kota.
3 segmen masyarakat inilah yang sekarang menjadi perebutan bagi calon-calon gubenur. Dan NU yang memiliki persentase utuh pada segmen santri dan Kyai berada pada posisi tertinggi untuk direbutkan.

Teori kemenangan pada Pilkada biasanya terbagi antara lain; apabila calon berangkat dari partai besar maka mesin partai harus menyumbang 70 % suara, 30 % dari calon. bila calon berangkat dari partai kecil maka kebalikan dari hal diatas. Dari sini bisa kita simpulkan :
- Soekarwo + Saifullah Yusuf berkewajiban atas 70% suara, Demokrat dan PAN 30 % suara
- Soenarjo + Ali Maschan Musa (?) berkewajiban atas 30 % Suara. Golkar 70 % Suara.
- Achmady + (?) berkewajiban atas 30 % suara, PKB 70 % Suara
- Soecipto + Ridwan Hisyam (?) berkewajiban atas 30 % suara, PDI.P dan PPP (?) 70 % suara

Kalau Pasangan Calon Gubenur seperti diatas, sudah pasti persentase persentase suara yang akan direbut adalah kantong - kantong nahdiyin (santri, kyai, priyayi). Faktanya Mindset keluarga nahdiyin adalah ideological minded (berpikir ideologi). Para nahdiyin tidak lagi sempat berfikir apakah calon yang akan didukung tepat/baik. Mereka lebih pasra mutlak kepada segmen priyayi. Siapapun Calonnya yang penting sang Kyai mendukung mereka akan mendukung. itulah ideologi mereka, ideologi kyai.

Amma Ba'du, hampir dipastikan para kyai menjadi perebutan para calon. Hampir juga dipastikan semua calon merasa paling dekat dengan para kyai. Nah..! bila kemudian seperti itu, tidak salah jika ada ungkapan, bahwa event politik apapun Adalah juga event pergulatan para Kyai, semoga salah !

Jumat, 15 Februari 2008

AMANAH....!


Tuhan Jangan Kau Ambil Nyawaku

Sebelum Aku Selesai Menjadikan Mereka Penyeru Firmanmu.

Tuhan Beri Aku Kekuatan

Menjadikan Mereka Kekuatan Ajaranmu

Menjadikan Mereka Matahari, Bagi Gelapan Moral

Menjadikan Mereka Bulan, Bagi Keredupan Asa


Tuhan Ijinkan Aku Mengais Seluruh Nikmatmu

Sebagai Bekal Perjalanan Sakral Mereka

Bukankah Telah Kau Wajibkan

Memelihara Kesucian Hati Mereka


Tuhan Jangan Kau Hinakan Aku

Ketika Tanganku Menjadi Tangis Mereka

Ketika Suaraku Membungkam Bibir Mereka

Adalah Sekedar Keinginanku Menjaga Mereka


Tuhan Ingatkanlah Aku Atas Wajah Suci Mereka

Agar Alam Yang Ada Disekitarku Tidak Mampu Memalingkanku Dari Mereka


Tuhan Mereka Adalah Anak - Anakku

Titipan AmanahMu Yang Kelak Ku Kembalikan PadaMu

Berilah Aku Kesempatan Memelihara Kesucian Mereka

BANTUAN SOSIAL (SE no 900/...)

Dari 8 item evaluasi Gubenur yang tertuang dalam surat Gubenur No 188/05.K/KPTS/0.13/2008 tentang Evaluasi APBD 2008 Kab. Jember, ada satu yang menarik yaitu soal Bantuan Sosial.. Dalam evaluasi tersebut disebutkan Bantuan Sosial pada APBD 2008 diharuskan berpedoman pada Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri no 900/2677/SE, tertanggal 8 Nopember 2007, Prihal Hibah dan Bantuan Sosial. Ketika bulan Nopember 2007 PemKab dan DPRD membahas Raperda APBD 2008, SE tersebut belum sampai ke Jember. Secara keseluruhan, semua ketentuan dalam APBD 2008 harus merujuk pada Permendagri 59.

SE Mendagri Tentang Bantuan Modal, yang paling prinsip dan menjadi acuan pelaksanaan APBD 2008, antara lain :
1. Bantuan dalam bentuk uang dianggarkan oleh PPKD (bagian Keuangan) didalam kelompok BELANJA TIDAK LANGSUNG dan disalurkan melalui transfer dana kepada penerima bantuan. ( penerima bantuan diharuskan memiliki no rekening).
2. Bantuan dalam bentuk barang dianggarkan dalam bentuk program dan kegiatan oleh SKPD dalam kelompok BELANJA LANGSUNG.
3. Proses pengadaan barang pada bantuan barang dilakukan oleh SKPD sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan selanjutnya hasilnya diserahkan kepada penerima bantuan melalui berita acara penyerahan asset.

Mekanisme Pemberian Bantuan Uang :
· Pihak Pemohon membuat Proposal, diketahui Camat dan Kepala Desa
· Proposal ditujukan kepada Bupati dan diserahkan pada kepada SKPD
· Setelah proposal diterima, SKPD melakukan verivikasi.
· Proposal yang sudah diverivikasi, dimintai persetujuan pada Bupati.
· Setelah persetujuan Bupati, SKPD memasukkan proposal ke Bag. Keuangan.
· Bagian Keuangan mencairkan bantuan lewat rekening penerima bantuan.
· Penerima bantuan membuat SPJ , paling lambat 1 bulan setelah uang diterima.
· Yang bertanggung jawab secara hukum atas bantuan uang adalah PENERIMA bantuan

Mekanisme Pemberian Bantuan Barang :
· Pihak Pemohon membuat Proposal yang harus diketahui Camat dan Kepala Desa
· Proposal ditujukan kepada Bupati dan diserahkan pada kepada SKPD.
· Setelah proposal diterima, SKPD melakukan verivikasi
· Bantuan Diserahkan oleh SKPD atas nama Bupati dibuktikan dalam bentuk Berita Acara Penyerahan Bantuan Barang.
· Bantuan barang harus ada Rasionalisasinya
· Yang bertanggung jawab secara hokum atas bantuan uang adalah SKPD

Penjabaran Permendagri 59 Pasal 45 ayat 1
Bantuan Sosial untuk :
Ø Organisasi Pemuda, Olah raga, Wanita, Pendidikan, Keagamaan
Ø Bantuan Sosial Parpol
Ø Kelompok Masyarakat, yang memiliki Badan Hukum
Ø Organisasi Profesi
Ø Organisasi Sosial

PENTAAN DAN PENGEMBANGAN PASAR KENCONG KAB. JEMBER

Kembali PemKab Jember (Tim Penataan Pasar Kencong), sepertinya agak kehilangan arah untuk mentranformasi informasi dalam bahasa kerakyatan. Peristiwa belum cairnya persoalan untung suropati, kali ini terjadi di Kec. Kencong. Masyarakat pedagang disana melakukan aksi penolakan kebijakan PemKab atas Pentaan dan Pengembangan Pasar Kencong.

Sebagaiman diketahui, 16 Agustus 2005 pasar Kec. Kencong terbakar. Peristiwa itu terjadi 5 hri setelah Bupati Pilihan Rakyat MZA.Djalal dilantik 11 Agustus 2005. Paska kebakaran hebat tersebut, PemKab Jember membuat penampungan sementara bagi para pedagang diatas lahan HGO PG. Semboro yang terletak disebelah Kantor Kec. Kencong.

Awalnya pedagang kencong begitu sempati atas respont reaktif yang ditunjukkan PemKab. Pasar Sementara dianggap sebagai jawaban kepedulian pemerintah atas musibah yang menimpa masyarakat. Apalagi ditengah hancur leburnya ekonomi mereka, pemerintah membuka ruang untuk sedikit menapak kembali. Yang pada akhirnya kehancuran ekonomi itu tidak menjadi “hantu” bagi penapakan usaha para pedagang.

Pada sisi lain, disamping menghidupkan kembali roda pasar, dipenampungan sementara, PemKab membentuk Tim Penataan dan Pengembangan Pasar Kencong, yang diharapkan Tim ini memberi jalan bagi pulihnya sector ekonomi masyarakat Kencong. Tim tersebut terdiri dari : Asisten I, Asisten II, Dispenda, DKLH, PUD, Pol PP.

Tidak ada yang salah dari respon positif PemKab, kalaupun kemudian muncul dinamika adalah karena sedikit error pada pendekatan program yang dilakukan Tim. Sementara ini pendekatan yang dilakukan PemKab adalah pendekatan model birokratis, yang pada banyak contoh kasus, model pendekatan ini tidak nyambung dengan pola piker yang populis ada dimasyarakat.

Pada tahun pertama Progrest report pemerintah dalam penenganan pasar kencong masih mengundangn simpati bagi pedagang kencong. Tetapi memasuki tahun kedua dari kebakaran, masyarakat mulai mempertanyakan program kesungguhan PemKab. Ini terjadi karena kejenuhan mereka akan kepastian kapan pasar kencong dibangun. Kejenuhan itu muncul setelah pedagang merasa bahwa penampungan sementara pasar kencong tidak representarif bagi pedagang. Kondisi tanah yang becek, penataan los dagangan yang sembraut, kesan kumuh yang muncul menyebabkan konsumen enggan datang ke penampungan pasar kencong. Hal tersebut membuat dagangan mereka sepi. Pada kondisi seperti itu, muncul berbagai pebafsiran, yang pada akhirnya mereka mengartikan sepinya pembeli diakibatkan pasar sementara jauh dari pusat kota Kec. Kencong.

Tim Terlambat membaca ini. Tim lebih disibukkan “mendesain” dan menyiapkan lahan untuk pembangunan pasar baru yang difinitif. Akibatnya ketika lahan untuk pasar baru disiapkan, mulai muncul penolakan dari pedagang. Karena dianggap lokasi yang rencannya terletak di lahan HGO PG. Semboro seluas 2 Ha, depan kantor Kecamatan, dianggap terlalu jauh dari pusat keramaian.

Lokasi pasar baru yang mestinya ideal bagi pengembangan sebuah pasar tersebut, tidak lagi menarik bagi sebagian pedagng kencong. Sepinya pembeli di pasar penampungan sekarang, adalah pembuktian bagi mereka atas penolakan lokasi pasar yang baru.

Agak mengherankan memang, 2 tahun lebih sejak penampungan sementara dibuat tim tidak pernah menjamah. Tidak ada kreasi tim untuk mencoba mendorong pasar sementara menjadi ideal bagi pembeli. Mungkin tim beranggapan pasar sementara berfungsi sementara yang tidak harus mendapat “energi” ekstra.

Padahal anggapan itulah yang menjadi awal kecerobon tim. Akibat dari kecerobohan tersebut, muncul kekuatan besar untuk menolak pembangunan pasar dilahan yang baru. Dan saat ini tim merasakan dari buah kecerobohan itu.

Sisi lain tim menyadari betul lokasi pasar baru belum bisa dibangun, Karena masih terkendala lamanya mengurusi proses pengalihan hak. Sebagaimana diketahui bahwa tanah tersebut kepemilikannya adalah asset negara dan saat ini sedang diurus untuk menjadi asset PemKab. Proses peralihan hak ini cukup memakan waktu, walau sebenarnya telah muncul Hak Guna Pakai atas PemKab jember. Mestinya ruang waktu yang ada digunakan tim untuk memperdayakan kondisi riil pasar penampungan sementara, sehingga kejenuhan pedagang bisa ditekan.

Sementara tanah eks pasar lama yang terletak didepan masjid Jami’ Kencong seluas 7.388.75 ms dengan no persil 205dI akan dibuat Alon-alon dan taman, bentuk pengembangan kota Kencong yang merupakan implementasi dari Perda RTRW (rencana tata ruang wilyah). Kedepan Kec. Kencong yang mempunyai wilayah yang luas, penduduk padat dan tingkat ekonomi cukup baik, mampu menjadi sentral perdagangan di wilayah barat. Implementasi atas Perda RTRW dan rencana kencong ke depan memang bagus dan menjadi luar biasa baik pada kondisi normal. Tetapi pada kondisi sebagaian masyarakat (pedagang) kencong yang menjadi pelaku ekonomi langsung berada pada alur pikir ketidak percayaan karena tekana ekonomi akibat kejenuhan menunggu ketidak jelasan keberadaan pasar, program baik diatas bisa memunculkan berbagai kecurigaan.
Kecurigaan – kecurigaan yang muncul dan berbagai bentuk penolakan bisa saja ditekan, apabila tim mampu memperbaiki pola pendekatan penyelesaian persoalan. Dengan tentu menangkap substansi persoalan. Jika tidak, maka dengan berani tim telah mempertaruhkan nama baik Bupati Pilihan Rakyat.

JUVE, INTER DAN UNTUNG SUROPATI

Nyonya Tua Juventus dipaksa mengubur ambisinya untuk melaju ke final Copa Italia. Adalah Mario Balotelli striker muda Inter Milan yang mengubur ambisa Juventus. Striker berusia 17 tahun berdarah Ghana ini menjelma menjadi bintang baru di pelataran Seri A. Bos bola di Italia bahkan menyamakan kemampuan Mario dengan bomber muda AC Milan Alexandre Pato. Mengamati laga perebutan tiket Final Copa Italia antara Inter Milan dengan Juventus, rasanya tidak berlebihan pujian atas Mario Balotelli. Aksi impresifnya mampu membungkam keangkeran Stadion Olimpico Turin, kandang Si Nyonya Tua.
Dengan sangat serius saya ceritakan kemampuan Mario meruntuhkan keanggeran Olimpico pada Somin, tetangga anda. Sambil menikmati secangkir kopi Somin malah bercerita keangkeran yang lain “ yang angker itu bukan Olimpico, tapi ada di Jl. Untung Suropati “ katanya. Somin menangkap ketidak mengertian saya, santai ia melanjutkan kalimatnya “ coba lihat sudah berapa bulan Tim Penataan Kaki Lima yang di bentuk PemKab belum berhasil menundukkan PKL Untung Suropati “. Ala Min Somin, soal PKL toh, wong saya ngomong bola kok di jawab PKL.
Berbagai analisis bola dari para pakar bola menjadi mentah oleh sepengkal kaliman Somin. Harus diakui dengan jujur bahwa fakta yang menarik bukan lagi pada Juve dan Inter, tetapi pergulatan pola penataan antara Tim PKL Ekskutif dan PKL (khususnya PKL Untung Suropati).
Pergulatan itu dimulai ketika PemKab yang di setujui DPRD, menawarkan konsep penataan PKL di kawasan sekitar Pasar Tanjung dan Johar Plasa, yang lebih dikenal kawasan segitiga emas (jl.samanhudi, jl.untung suropati, jl.dipenogoro, jl.pitaloka). Kawasan perdagangan terbesar di Jember ini, memang menjadi kawasan primadona bagi PKL. Setiap hari berbagai transaksi bisa mencapai angka 1 – 2 M. Masuk akal kalau kemudian PKL habis – habisan mempertahankan eksistensinya di kawasan ini.
Sebenarnya kesalahan teoritis dari persoalan PKL, terletak pada biasnya kebijakan Pemerintah. Ketika perekonomian masyarakat kecil berada pada tingkat “goyah”. Pemerintah belum atau terlambat menstabilkan kebutuhan dasar masyarakat. Ini akibat dari tidak jelasnya arah kebijakan makro ekonomi Pemerintah. Sisi lain masyarakat dihadapkan pada kebutuhan ekonomi, kesehatan, pendidikan yang tidak bisa lagi tertunda. Pada kontek ini sering kali kebijakan pemerintah bersifat intsan dan dampaknya tidak menyentuh pada kebutuhan mendasar tadi. Salah satu respons masyarakat atas kebutuhan mendasar tersebut ditunjukkan dengan misalnya berjualan diruas jalan atau ditempat2 publik lainnya. Ironisnya pemerintah bukan hanya melakukan pembiaran, tetapi melegitimasi hal itu dengan menarik retribusi.
“apapun itu nasi sudah menjadi bubur,penataan harus tetap dilakukan” Somin mengingatkan itu pada saya. Sebenarnya jika diurai lebih detail, persoalan yang muncul pada penataan lebih pada buntunya ruang negosiasi antar Tim dan PKL. Jauh ketika proses penataan berjalan, Tim sudah mensosialisasikan hari H pasar sore tgl 1 Januari 2008, artinya bahwa 31 Desember 2007 batas akhir dari seluruh proses penataan. Lepas 1 januari 2008 “petaka kecil”, kegetolan PKL untuk bertahan memaksa Tim menelan air ludah dan 1 januari berlalu tanpa pasa sore.
Dari awal PKL untung suropati begitu jeli memainkan peran. Meraka menolak konsep PemKab agar berjualan mulai jam 3 sore dan supaya rombongnya didorong. Penolakan itu tidak hanya disampaikan pada PemKab, tetapi dengan pinter mereka bawa persoalan itu pada beberapa Tokoh berpengaruh di Jember serta DPRD. Akibatnya persoalan tersebut sempat berubah menjadi persoalan publik. Dan Tim terjebak mengeluarkan energi untuk menjelaskan pada publik. Tentu, langkah PKL ini menguntungkan, karena kemudian kondisi memaksa Tim untuk tidak bersikap tegas, padahal amanah Perda No 2 Thn. 1968 tentang penataan pegadang kaki lima sangat jelas.
Memasuki injury time batas waktu, tanpa sadar Tim terjebak pada pola negosiasi yang dibangun PKL. Dari dua konsep Tim, jualan sore dan gerobak di dorong, PKL mulai melepas penolakannya atas jualan sore, dengan tetap mempertahankan gerobak tidak didorong. Bisa saja tim menganggap 1 langkah memenangkan pertarungan. Padahal sebenarnya PKL juga melempar beberapa alasan kenapa gerobaknya tidak bersedia didorong. Gerobak rusak, keamanan gerobak, dan ongkos bayar dorong gerobak adalah alasan yang dibikin realistis. Timpun kembali melayani keinginan PKL dengan menyediakan gerobak siap dorong, walau bertahap.
Mario Balotelli bukanlah satu2nya penentu lolosnya Nerazzurri (Inter Milan) pada final Coppa Italia. Kerjasama tim dan kejelian Roberto Mancini membaca kondisi pertahanan Juventus, manjadi penentu kemenangan Nerazzurri. Tanpa Buffon kondisi pertahanan si Nyonya Tua agak rentan, apalagi lemahnya stamina Guqliermo Stenderdo, Chiellini dan Legrottaglie yang bermain dibawah performance, terlihat didepan hanya Del Piero yang ambisius. Kejelian Mancini menangkap ini dengan memasangkan Mario Balotelli dan Julio Cruz didepan dibantu manchie dan camblasso ditengah. Koordinasi ditengah lapangan yang dibangun Zanetti sang kapten mampu memompa semangat tim.
Somin bertanya soal koordinasi tim penataan PKL, tidak bermaksud membandingkan tapi bentuk keterkejutan. Keterkejutan dari ego sektoral yang disadari atau tidak muncul dalam tim. Ungkapan bahwa keterlambatan penataan karena amburadurnya pemetaan areal adalah bentuk arogansi sektoral. Padahal pemetaan dilakukan oleh tim, ungkapan amburadul juga oleh tim.
Perbedaan pola pikir, jabatan jika masih mendominasi dalam tim maka yang muncul adalah perlombaan untuk dipuji atasan, bukan kerja sama menyelesaikan persoalan. Selain soliditas tim kedepan negosiasi terbatas mestinya harus dibangun dengan PKL. Sebagaimana alasan PKL bahwa rombong tidak mau didorong karena rusak, keamanan rombong dan ongkos dorong. Soliditas tim mestinya terbangun, dalam kerangka memunculkan kendali negosiasi, tidak kemudian dinegosiasi itu dengan apik dikendalikan PKL. Apapun, masyarakat menunggu reaksi Tim untuk menuntaskan penataan PKL
Amma ba’du. Sambil menghabiskan 3 gelas kopi somin bercerita. Suatu malam seorang berdoa pada Tuhan “Tuhan jika jabatan saya naik,saya berjaji akan sembeli kambing sebagai rasa syukur…” ketika suatu hari Bupati memanggilnya,ia berdoa lagi “Tuhan saya akan sembeli sapi bukan kambing” lalu ketika ia menerima surat pelantikan tanpa disebut jabatannya, tawarannya pada Tuhan dinaikkan “ 3 ekor sapi Tuhan, bukan Cuma 1 ekor”. Setelah selesai dilantik dan jabatannya naik, ia berseru pada dirinya sendiri “meskipun saya tidak sembeli sapi mana ada yang tahu…!!”. Saya bertanya pada Somin apa hubungannya dengan PKL, terkekeh kekeh somin ketawa. Nah Lho..! (By : Juf Al Lomp)
(radar jember)