Rabu, 27 Februari 2008

PERAN ITU.....APA YA.....

“Ah…. Masa’, sih…”
“Bener lho, ngapain aku bohong”
“Mas kan belum tahu aku, kok udah ngomong gitu”
“Tanya deh orang2, kamu cantik kok dan aku suka banget”
Perempuan berkaos biru dengan jean hitam itu, bersemu merah pipinya
“kita belum kenal lho mas, bisa gawat kalau muji2 gitu”
“Biar gak gawat kita seriusi aja ya…”
“Apanya….?”
“ya kita ini, jika kamu bersedia aku antar sampai rumah”
Percakapan dua “arus positif negatif” itu terjadi didepanku. Lepas isyak ketika aku terjebak kepenatan menunggu bus di terminal bus.

(**)

“Dak wis, pokoke hari ini gak boleh ngutang”
“Ala, Cuma nambah dikit aja, lusa aku bayar semua”
“Bayar….Bayar…..harus bayar…”
“Ya…ya…ya, kopinya dulu jangan ngamuk terus”
“Asal bayar”
“ya yuk, rokok satu bungkus ya”
Aku tersenyum, mendengar debat kecil ini. Sambil sesekali kunikmati kepulan asap rokok, diantara bau keringat yang cukup menyengat. Warung sederhana seperti ini, pimggir jalan dan dekat sawah, adalah tempat yang menyenangkat bagi masyarakat petani didesa.
“Kopinya wis tak buatkan yang enak, ini rokoknya. Pokoknya bayar ya..”
“Ya..ya.. yuk, gak usah sewot lah..”
“Gak sewot gimana, beras pada naik, minyak naik, tepung naik, apa-apa naik. Jualan dihutangi terus, habis modalku…”
“Gak apa-apa yuk, kan tiap malam kakang juga naik.. he..he..”
“Gundul kamu, wis tua gak mikirin itu…”
Seorang laki-laki paro baya, melirikku. Setelah mengepulkan asap rokoknya, ia bertanya padaku
“Anak muda, sampean kan tahu pemerintahan. Kenapa ini semuanya pada naik..?”
Semua mata tiba-tiba tertuja padaku. Perempuan pemilik warung menimpali
“Pemerintahnya itu ‘dak kenal kita-kita kali ya”
Sebatang rokok kunyalakan, kubiarkan mereka menebak-nebak jawaban. Hisapan rokok sengaja kukepulkan pelan-pelan. Entah harus pakai literature apa untuk menjawab pertanyaan mereka. Gak mungkin aku jawab karena pemerintah gagal swasembada beras, karena lahan pertanian kiat berubah fungsi, karena kebijakan fiscal, karena pengaruh harga minyak dunia, atau karena para menteri ekonomi kita dipusingkan oleh bayangan konglomerat berdasi pejabat. Apapun aku ya harus menjawab pertanyaan mereka
“Kalau dalam minggu ini, tiap malam kita khusus menangis pada Allah, Insya Allah kita akan mampu membeli barang yang naik itu…”
“Pertanyaan kami kenapa naik”
“Karena Allah, akan memberikan sampean-sampean kemampuan untuk membelinya”
“Duh…aduh…anak…ini…!!”

(**)

Sekitar jam 8 pada suatu pesta malam pernikahan, aku sedang menikmati juise apel. Ketika tanpa sengaja telingaku menangkap pembicaraan antara dua orang llaki-laki separo baya.
“Bapak sudah bicara…”
“Belum. Tapi apa yang saya bawa malam ini, paling tidak bisa menterjemahkan keinginanku”
“Saya juga belum. Saya agak grogi untuk memulai. Emangnya bapak bawa apa?”
“Kontak Mobil terbaru, sebagai hadiah perkawinan anaknya”
“Tujuan kita sama, saya bawa kunci rumah tipe 90”
“Wah.. kalau begitu besok pagi kita harus bersama-sama temui beliau”
“Saya dengar si Dadu sudah menemui beliau”
“Ala… kalau cuma dia, gampang untuk nyingkirkan”
“Gampang gimana…?, ia sudah mulai dekat”
“Kita sediakan amplop, seseorang dengan mudah akan menghilangkan berkasnya”
“Kalau begitu kita harus bergerak cepat, waktu kita tinggal 6 hari lagi”
“Kita akan melakukannya dengan rapi. Percayalah 6 hari lagi kita termasuk yang akan dilantik”.
6 hari kemudian aku membaca dikoran pelantikan pejabat. Salah satu orang yang percakapannya aku dengar dipesta pernikahan ikut dilantik.
6 bulan kemudian aku membacanya lagi dikoran salah satu orang yang percakapannya aku dengar dipesta pernikahan tapi yang tidak dilantik melaporkan temanya yang ikut dilantik jadi pejabat ke polisi. Kasus yang dilaporkan adalah dugaan penggelembungan anggaran proyek.

(**)

Dimana Kita ?. Menjadi apa kita ?. Bagian peran apa yang kita ambil pada proses berkebangsaan ini. Begitu berartikah peran kita ?. Apakah peran itu menjadi bagian terpenting dari proses perbaikan masyarakat. Atau kita justru terpinggirkan, peran kita dianggap tidak relevan. Peran yang coba kita lakoni dianggap duri bagi kepentingan komunitas tertentu, maka kemudian kita dianggap penyakit social, yang perannya harus dikerdilkan.

10 tahun sejak reformasi diteriakan dengan darah dan air mata, peran kemanusiaan belum menemukan judul yang pasti. Orde ini kemudian ternyata membuka ruang lebar bagi kita untuk mengaktualisasikan peran. Akibatnya sulit menemukan difinisi yang jelas tentang peran kemanusiaan.

Apapun, jauh lebih berarti berperan menjadi diri sendiri. Peran terbaik adalah menjadi baik bagi diri sendiri, mengartikan diri sendiri menjadi baik bagi sesama.
(sesaat sebelum perjalanan ke rumah)

Tidak ada komentar: