Selasa, 04 Maret 2008

RASA MALU PADA NELAYAN PUGER...

Terkadang Antisipasi dari peristiwa yang mungkin saja terjadi, menuntut kita harus lebih mampu membaca situasi. Apakah situasi itu berkenaan dengan prilaku sosial masyarakat, maupun situasi alam. Kepekaan itu, memang menuntut siapapun untuk lebih jeli melihat keluar, dari jendela normal yang telah terbiasa menjadi rutinitas sikap, keputusan bahkan aturan.

Situasi sosial dan gejala perubahan alam, jauh lebih pesat meninggalkan teoritik kesiapan rencana yang telah terlanjur kita buat. Hal ini terjadi ketika konsentrasi pikiran kita terjebak pada aturan program. Padahal seringkali berbagai aturan program belum mampu menjawab akan persoalan riil diluar jendela kita.

Peristiwa yang saat ini dialami nelayan puger, adalah contoh kasus ketidak mampuan berbagai program untuk menjawab fakta sebenarnya dimasyarakat. Sudah 3 bulan nelayan puger tidak bisa melaut, selama itu pula tidak ada serupiahpun yang masuk kantong. Artinya selama 3 bulan nelayan puger menghabiskan seluruh sisa tabungan. Ironisnya lagi pegadaian yang biasa menjadi alternatif sementara pada masa paceklik, tidak lagi mampu melayani kebutuhan gadai mereka.

3 bulan mahkluk begis bernama kelaparan, mulai mengintip gubuk mereka. Fantastisnya selama itu pula dinas perikanan dan kelautan kita “pura-pura” tidak tahu. Dan ketika ketidaktahuan itu kemudian menjebak sang pemilik dinas, pinternya program APBD, dijadikan tameng untuk berkelit dari tanggung jawab.

Pertanyaan kemanusiaan kita adalah, jika misalnya tidak ada satupun isi APBD yang mengantisipasi puger, apakah kemudian kita tega membiarkan diri kita terjebak dalam belenggu APBD ! Bukankah pembuat APBD itu adalah orang – orang pinter. Orang – orang pilihan yang dianggap mampu menjawab persoalan sekian juta masyarakat jember !. jika misalnya APBD yang dibuat oleh orang – orang pinter itu, tidak lagi menjamin lenyapnya mahkluk kelaparan, lalu di mana roh sebenarnya dari APBD kita itu !. Padahal angka – angka yang muncul dalam APBD adalah angka – angka yang berasal dari keringat masyarakat.

Ok !. Mari kita berasumsi baik, katakan misalnya jawaban kepala dinas itu benar, tidak ada angka dalam APBD untuk mengatasi persoalan nelayan puger. Walau sebenarnya persoalan itu terjadi hampir tiap tahun. 2006 ketika ombak naik (gejala alam ?), nelayan puger juga tidak melaut. Waktu itu pedagaian masih menoleh mereka. 2007 peristiwa itu terulang lagi dan pegadaian kembali menjadi juru selama dengan tentu imbalan yang layak. Jika dengan sungguh – sungguh kita meluangkan hati untuk menengok keluar, maka jelas terlihat bahwa sebenarnya peristiwa tidak melautnya nelayan puger karena ombak, terjadi hampir tiap tahun. Artinya mestinya pada APBD 2008, dinas perikanan dan kelautan memasukkan angka untuk mengantisipasi peristiwa tersebut. Toh, jika angka itu tidak terpakai akan kembali pada kasda.
Kok tega ya, kita biarkan orang menganggap kita pinter, karena APBD bagian dari keberadaani kita. Padahal APBD ternyata gak semuanya menjawab persoalan masyarakat. Kok bisa ya kita biarkan diri kita dianggap mewakili persoalan masyarakat se jember. Padahal peristiwa sekecil puger, lepas dari kepedulian kita.

Masih untung Bupati Jember mendengar nelayan puger dan memerintahkan stafnya untuk menyelesaikan itu. Semoga terwujud, dan rasa malu dianggap menjadi wakil terobati.
(refleksi hati)

1 komentar:

wibowo_anangdw mengatakan...

Salam Kenal Pak Jupri...
Bapak anggota DPRD Jember ya?
Foto di pesawat itu sama Bapak Imam Suda'im Ya? Salam ya buat Pak Imam Sudaim ne Tetangganya. Anang