Kamis, 31 Januari 2008

PENATAAN PKL DI SEGI TIGA EMAS KAB. JEMBER

31 Januari 2008
Persoalan Pentaan kali lima diseputar pasar tanjung dan matahari atau yang lebih dikenal segitiga emas, adalah persoalan klasik Kab. Jember. Sudah sekian tahun kaki lima di Jl. Samanhuid, Jl. Untung Suropati, Jl.Pitaloka, Jl. Dipenogoro, seolah menjadi kawasan angker yang sulit sekali terjamah. Kawasan ini memang menjadi kawasan primadona bagi PKL. Keberadaan Pasar Tanjung pusat pasar tradisional di jember dan Matahari store sebagai pusat perbelanjan modern terbesar di jember, adalah magnet yang mampu menyedot ribuan konsumen dan itu adalah lading emas bgi PKL. Bahkan hasil sebuah penelitian tak kurang 2 – 3 M uang berputar di kawasan ini. Tak heran jika kawasan ini menjadi symbol perdagangan di jember.

Pertengahan 2007 PemKab Jember, mencoba menata kawasan ini, sesuai dengan Roh pembangunan jember Membangun desa, Menata Kota untuk kemakmuran bersama. Selama 2 tahun pemerintahan MZA.Djalal, lebih terkonsentrasi pada pembangunan infrastuktur Desa. Memasuki tahun ke 3, Bupati MZA. Djalal yang kemudian “ direstui” DPRD mulai menjamah pada penataan kota. Konsentrasi penataan ini berada pada kawasan perdagangan. Yang implementasinya adalah Penataan Kaki Lima.

Sebenarnya penatan kaki lima dengan konsep pasar sore bagian dari pengembalian kaki lima pada konsep awal. Seperti kita tahu sejarah kaki lima di segitiga emas ini diawali ketika dulu pasar johar di robak menjadi Johar Plasa (Matahari Store). Untuk menampung pedagang di pasar johar yang tidak tertampung di bekas terminal bus gebang, muncul kebijakan pasar sore di sekitar pasar tanjung. Perkembangan berikutnya paar sore menjadi pasar sehari penuh.

Penataan Kaki Lima Jilid I (pertengahan 2007), tim penataan ekskutif yang waktui itu di ketuai Suprapto (Dispenda) sebelumnya Sunarsono, tidak mampu menjamah keangkeran kawasan ini. Yang mampu di jamah oleh tim waktu itu hanya JL. Samanhudi. Kegagalan ini, jika kemudian ini disebut gagal, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; Koordinasi antar anggota tim lemah, sering kali muncul saling lempar kesalahan antara Dispenda dan Pol PP. belum lagi pendekatan yang dilakukan terhdap PKL, menggunakan pendekatan formal. PKL yang merasa bahwa pendapatannya terusik, mulai menggeliat, khususnya Untung Suropati dan Dipenogoro. Mestinya geliat ini ditangkap sebagai dinamika yang harus dicarikan solusinya. Ironisnya tim menangkap geliat ini sebagai ancaman atas pertanggung jawaban kinerja mereka terhadap Bupati.

Memasuki akhir 2007, ada perubahan struktur tim. Asisten I ( Hasi Madani ) dan Asisten II ( Fadallah ) masuk dan sekaligus menjadi koordinator Tim. Masuknya 2 Asisten ini pada sisi koordinasi memang terjadi perubahan, koordinasi tim mulai terlihat baik. Tetapi pola pendekatan belum terlihat perubahan yang signifikan. Pendekatan yang dilakukan masih menggunakan pendekatan “perintah”. Akibatannya komnikasi yang dibangun adalah komunkasi konsep, yang menutup celah masuknya komunikasi negosiasi.

Sudah sekian bulan persoalan PKL di kawasan ini, khususnya JL. Untung Suropati belum juga ada titik temu. Tuntutan PKL yang awalnya tidak bersedia buka pagi dan tidak bersedia gerobak didorong, yang kemudian tuntutan itu menjadi hanya asal gerobak tidak didorong, dibiarkan mengambang. Tim cendrung tidak memberi ruang bagi PKL untuk bernegosiasi, sementara PKL cendrung pasang badan atas tuntutannya.

Pada kondisi beku seperti ini mestinya tim, membuat formula baru sebagai terobosan atas kebuntuan komunikasi. Harus diakui dengan jujur dalam hal ini tim selangkah tertinggal oleh PKL. PKL Samanhudi begitu pinter memanej persoalan ini, dan memunculkan kepermukaan sehingga persoalan PKL menjadi Persoalan Publik. Tak kurang Tokoh Agama, Pelaku Ekonomi di jember yang dengan rajin dijadikan tempat berkomunikasi olah PKL. Sisi negosiasi yang “terlambat” dibuka oleh Tim, dijadikan senjata oleh PKL, yang ditembakkan kemana2 dan cukup berhasil meraih simpati publik. Misalnya, dari awal PKL menolak buka sore dan gerobak didorong, ketika posisi PKL mendekati klimaks, maka 2 tuntutan itu dijadikan senjata untuk bernegosiasi dengan Tim, yang ditawarkan kemudian adalah “siap buka sore, asal gerobak tidak didorong”. Sementara tawaran Tim atas uang Rp.1.000.000 sebagai kompensasi ditolak.

Jika misalnya tim dari awal membuka diri untuk sedikit mengurai keengganan PKL gerobaknya didorong, maka bisa jadi persoalan penataan yang terkatung ini menjadi sederhana. Ada 4 alasan kenapa mereka tidak bersedia gerobak didorong : Rombong (gerobak) rusak, tenaga yang tidak kuat dorong, ongkos (biaya) dorong, keamanan Rombong di terminal Rombong. Mestinya konsentrasi penataan PKL saat ini berada pada 4 alasan tersebut, tidak perlu lagi berwacana pada kontek yang lain. Artinya adalah jika misalnya Tim membuka ruang untuk bernegosiasi atas 4 alasan tersebut, maka tidak lagi muncul pro kontra gerobak didorong apa tidak.

Solusi yang bisa digunakan adalah tim secara bertahap melakukan perbaikan gerobak, tok kompensasi 1.000.000 mereka tolak, pada kurun waktu tertentu tim harus menyediakan tenaga untuk membantu mendorong gerobak (rombong) dan bertanggung jawab untuk menjaga keamanan rombong. Dengan demikian tidakalasan lagi bagi PKL untuk menolak seluruh konsep Penataan Kali Lima. Sebab bagaimanapun Penataan ini harus dilakukan, apalagi Perda No 2 Thn. 1968 tentang penataan pegadang kaki lima mengamanatkan pada PemKab untuk melakukan penataan PKL.

Tidak ada komentar: