Rabu, 16 Januari 2008

DATA MISKIN....DATA SOMIN.....

Suatu masa pada suatu wilayah, Ki Eyang adalah penguasa padepokan pd wilayah tersebut. Konsentrasi Sang kyai tercurahkan untuk melindungi mutu kedalaman ibadah dan kesejahtraan penghuninya. Siapapun boleh menetap dipadepokannya, setelah terlebih dahulu melalui proses test, misalnya bagaimana cara mambaca syahadat, mengartikan kepasrahan pada Tuhan, bagaimana mendifinisikan kesejahtraan.

Sebenarnya proses test yang beliau lakukan adalah cermin dari kegelisahan hatinya. Ki Eyang melihat mulai ada rongrongan atas kepasrahan pada Tuhan bahkan setelah bersyahadat, difinisi kesejahtraan pada semua komunitas dipadepokannyapun mulai rancu dan somin salah satu santri kesayangannya adalah implementasi kegelisahannya. Somin berasal dari daerah tak bertuan, ia datang nyantri ke Ki Eyang pada malam Jum’at pon. Waktu itu Ki Eyang minta ia bersyahadat, tiba2 setelah mambaca kalimat syahadat somin loncat dalam sumur, ketika pertolongan diberikan ia menolak, 2 hari kemudian ia keluar dengan gagah dan berucap pada sang kyai “saya telah bersyahadat kyai, ketika saya bersumpah hanya takut pada Tuhan, kenapa saya harus takut mati !”

Sejak itu somin menjadi fenomena lain pada kultur social di padepokan Ki Eyang. Sebenarnya somin mungkin juga seperti anda mencoba berintraksi pada kebohongan kultur yang pada kondisi social tertentu menumbuhkan ironisme. Bagaimana tidak !, jika misalnya kepasrahan itu di implementasikan pada kebutuhan social yang harus terpenuhi. Yang didalamnya juga muncul kebutuhan egoisme : ekonomi, politik, jabatan. Padahal kebutuhan2 tersebut justru menjauhkan makna loyalitas kepasrahan total. Dan somin berhasil mempertontonkan itu, seperti suatu hari saat Ki Eyang memanggilnya dan menyampaikan keinginannya untuk mengetahui tingkat ketaqwaan dan kesejahtraan padepokannya. 2 hal yang mestinya tidak bisa dipertemukan untuk menilai satu kondisi secara bersamaan. Ketika ketaqwaan seseorang mencapai titik sempurna maka kesejahtraan bukan bagian penting dalam pola kehidupannya, paling tidak rumus ini berlaku pada somin.

Bagaimanapun somin adalah santri dan keinginan guru harus diperhatikan, maka mulailah somin mencoba menterjemahkan keinginan sang Kyai. Konsep telah ia siapkan, tetapi realitas yang dihadapi memunculkan keterkejutan, sebenarnya ia berdiri diatas bumi apa !. Bagaimana tidak, kesejahtraan yang ditemui somin bukan lagi sesuatu yang abstrak, ia telah menjelma menjadi rumah yang mewah, sawah yang luas, mobil bagus, deposit, saham dimana-mana. Kesejahtraan bukan lagi ketenangan hati, cara hidup yang memunculkan rasa hosnudon, ringan hati menolong tetangga, menampung janda2 tua dan yatim piatu.

Sebenarnya menjadi tugas pemerintah menterjemakan kesejahtraan secara konkrit,yang mempunyai nilai kedekatan kepada Tuhan. Pemerintah itukan punya kekuatan dan bisa digunakan untuk “memaksa” komunitas tertentu agar yang diperbesar deposit amal untuk janda2 tua, yatim piatu. Pemerintah tidak cukup dengan konsep pendataan orang miskin, kemudian memberi sembako yang dalam 3 hari sudah habis. Hal penting lainya yang mesti dilakukan pemerintah adalah menciptakan mental “gengsi’ pada masyarakat miskin. Misalnya bagimana masyarakat tidak terlalu menggantungkan bantuan2 pemerintah. Dalam manajemen negara modern, tugas pokok pemerintah adalah mentransportasi kemampuan masyarakat, sekecil apapun kemampuan itu dijadi sumber daya ekonomi yang mempuni. Kontek ini maknanya memperkecil sektor bantuan material secara langsung, tetapi membuka ruang pekerjaan yang luas. Jika diterjemahkan bahasa somin, memberi pancing bukan ikan.
Pendataan masyarakat miskin yang saat ini dilakukan pemerintah Kab. Jember, adalah sebuah keniscayaan, ketika persoalan masyarakat miskin selalu berkutat pada pendataan. Bahkan Presiden SBY pun terpancing debat media dg Wiranto (mantan Pangab) hanya persoalan data, buka substansi pengentasan masyarakat miskin. Jika misalnya data masyarakat miskin di jember juga memunculkan perdebatan, maka sebenarnya siapun yang terlibat dalam perdebatan pendataan tersebut adalah komunitas yang mungkin belum memahami substansi persoalan kemiskinan. Sebaliknya pemerintah jangan menjadikan kevalidan pendataan yang dilakukan sebagai sisi lain keberhasilan mengatasi kemiskinan. Pemerintah boleh bangga ketika misalnya mampu “memaksa” masyarakat yang punya kelebihan materi untuk juga berbuat bagi saudaranya yang bernama masyarakat miskin. Bayangkan misalnya pemerintah mampu mengumpulkan dana dari orang2 kaya, kemudian dana tersebut dibikin perusahaan yang seluruh pekerjanya dari masyarkat miskin, 100% penghasilannya untuk masyarakat miskin. Mungkin jika itu terjadi, siapapun orang kaya di jember akan bisa tidur nyenyak, karena pemerintahannya mengajak hidup di surga.

Maka ketika peta kesejahteraan dan tingkat ketaqwaan penghuni padepokan telah somin kuasai, ia kemudian menghadap Ki Eyang. Kebetulan dirumah Ki Eyang ada 3 orang tamu. Ki eyang bertanya pada somin “ bagaimana, sudah selesai ?” , somin berdehem “ sudah Kyai” jawabnya mantap. “Hasilnya ?” Tanya sang kyai. “orang-orang kaya harus menyantuni yatim piatu, janda2 tua” jawab somin. Ki Eyang melirik tamunya yang berdasi, “hasilnya ?” katanya lagi, sang kyai merasa bahwa somin belum menjelaskan hasil dari tugas yang di amanatkannya. Somin paham pikiran sang kyai, “Bagaimana saya berani mengukur tingkat ketaqwaan dan kesejahtraan seseorang, ketika yatim piatu, orang2 fakir masih banyak terlihat. Tuhan sedang menghukum kita, karena kita hanya bersyahadat tapi tidak takut pada Tuhan, gimana mau takut tetangga kita yang yatim piatu yang fakir kita biarkan”. Mendengar kalimat somin sang kyai masuk kekamar “Ya, Tuhan biarkan malam ini aku tidur dengan nyenyak” Pintanya kepada Tuhan

Diluar 3 orang tamu bertanya pada somin “ Kyai keluar lagi gak ?”. Santai somin menggoda sang tamu “ Kyai mau ke balung mengunjungi panti jatim piatu, kemudian ke arjasa nengok panti janda2 tua miskin, terus ke kalisat nyambangi pemuda pemuda di bengkel keterampilan, lalu ke mangli menyapa sekolah bebas biaya bagi orang miskin,lalu…”. “sebentar – sebentar…semua itu milik siapa ?” potong sang tamu, “ Lho ! milik sampean, karena akan segera sampean dirikan itu…”. Sang tamu bengong, seorang dari mereka berbisik pada temannya “bagaiman peluang jabatan sekda…”. Somin yang mendengar itu menimpali “ sebaiknya sampean pulang lalu bersyahadat, semoga malam nanti Tuhan membuat tidur sampean nyenyak..”. Sang tamu makin bengong dan somin hanya tersenyum. Semoga anda juga sedang tersenyum.
By : Juf Lomp Zat

Tidak ada komentar: